PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
MASA NEW NORMAL
Oleh:
A.Y. Soegeng Ysh.
Dosen PGSD Universitas PGRI Semarang
Abstrak
Diyakini keluarga berperan dalam pendidikan anak-anaknya sesuai paham familiarnisme yang membantah aliran antifamiliarissme dan fokus pada pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai. Implementasinya orangtua berfungsi sebagai agen moral; dengan upaya pembiasaan, peneladanan, dan pengajaran; menggunakan pendekatan pandangan moral positif dan kritis menghindari pendekatan ideologis-politis; fokus pada pengajaran dan klarifikasi nilai, serta pengembangan moral dan karakter. Disimpulkan bahwa pandemik Covid-19 dan new normal telah memposisikan kembali keluarga sebagai pendidik pertama dan utama yang selama ini banyak ditinggalkan.
Kata-kata kunci: keluarga, pendidikan karakter, nilai-nilai, agen moral,
pendidik pertama dan utama.
Judul tulisan ini menunjukkan bahwa keluarga atau orangtua berperan penting dalam mendidik anak-anak mereka walaupun ada pandangan sebaliknya. Pernyataan ini menuntut paparan perbedaan pandangan antara para ahli tentang peran keluarga dalam pendidikan. Setelah diyakini adanya peran keluarga dalam pendidikan – yang untuk kali ini fokus pada pendidikan karakter – dipertanyakan implementasinya pada masa pandemi Covid-19 dan new normal[1] yang sedang dan masih akan terjadi beberapa waktu mendatang. Untuk itu perlu diungkap karakteristik pendidikan karakter, fungsi pendidik (dalam hal ini keluarga atau orangtua), upaya-upaya, pendekatan, dan fokus pemelajarannya serta diambil simpulannya. Berikut ini pembahasannya.
- Pembahasan
Dalam kaitannya dengan peran keluarga dalam pendidikan, dapat diklasifikasikan dua aliran, yaitu aliran antifamiliarisme dan aliran familiarisme. Berikut ini rinciannya.
- Antifamiliarisme
Antifamiliarisme dipelopori oleh Plato (427-347), seorang pemikir (ahli filsafat) dari Yunani, murid dari Socrates (469-399). Ia tidak percaya pada fungsi pedagogis keluarga, karenanya ia menyerahkan persoalan pendidikan kepada negara. Plato berpendapat bahwa keluarga bukan tempat yang tepat bagi proses pendidikan karena ayah telah sibuk dalam urusan publik (politik) dan seorang ibu sibuk dalam urusan domestik (memberi makan, minum yang bersifat kuratif atau pemeliharaan).
Menurut Plato, pendidikan bertujuan untuk membentuk generasi muda menjadi warga yang baik, cinta kepada negara, mampu memerintah, dan taat kepada negara. Kehadiran negara diperlukan karena setiap orang secara sendiri-sendiri tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Jadi pendidikan bertujuan membentuk politisi filsuf yang mampu mewujudkan keadilan dan kebaikan dalam kehidupan bersama. Karena itu, pendidikan merupakan kinerja politik itu sendiri. Plato mengusulkan agar yang menjadi penanggung jawab pendidikan publik adalah negara, dilaksanakan oleh seorang fungsionaris utama yang dipilih oleh negara sesuai ketentuan hukum. Maka Plato membubarkan institusi keluarga sebagai lembaga pendidikan yang telah berlaku di Yunani sebelumnya, dan mengalihkannya kepada negara sebagai lembaga pendidikan anak.
Aliran antifamiliarisme Plato kemudian muncul kembali pada masa mashab Kopernikan (Penganut Kopernikus). Pada masa itu, anak menjadi perhatian utama pedagogi. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Edouart Claparede, Ovide Decroly, dan Maria Montessori. Aliran ini berkembang di Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19. Mereka memperoleh inspirasi dari pedagogi negatif natural-nya Jean Jaques Rousseau (1712-1778).
Rousseau, dalam bukunya yang diberi judul Emile, berpendapat bahwa kodrat manusia itu baik namun menjadi rusak di tangan manusia. Dalam kaitannya dengan pendidikan, Rousseau berpendapat bahwa kebebasan dan pertumbuhan anak menjadi terbatas karena dididik dengan kriteria orang dewasa. Anak dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil (adultisme). Gambaran bahwa dalam diri anak terdapat sosok pribadi dewasa tersembunyi, adalah bertentangan dengan kodrat. Dalam pendidikan, anak seharusnya dipandang sebagai anak dengan kekhasannya dan bukan dipandang sebagai orang dewasa yang harus menjalankan peran orang dewasa, mempelajari nilai-nilai yang hanya berlaku bagi orang dewasa.
Bagi Rousseau, tujuan utama pendidikan adalah untuk menjaga kebebasan si anak, dengan cara membiarkannya bergerak dan bermain secara bebas dan spontanitas. Anak perlu dihindarkan dari campurtangan pendidikan yang membatasi, agar mampu mencapai tujuan individualnya. Tujuan pertumbuhan individu itu mendahului tujuan sosialnya, maka anak harus dijauhkan dari situasi masyarakat dan keluarga. Anak perlu dijauhkan dari situasi masyarakat karena masyarakat yang mendasarkan diri pada perbedaan dan bukan persamaan, dapat menjadi sumber pemelajaran tentang ketidakadilan. Sedangkan harus dijauhkan dari situasi keluarga karena keluarga akan menakutkan yang membahayakan bagi kelembutannya.
Aliran antifamiliarisme juga nyata dari pernyataan Gustav Wyneken (1875-1964), pemikir Jerman, bahwa: “Keluarga dan pendidikan adalah dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Keluarga merupakan sebuah lembaga yang berfungsi untuk melanggengkan keturunan spesies manusia, kalaupun orangtua mencintai anak-anak mereka tetapi mereka tidak mmencintai keremajaan yang ada di dalam diri anak-anak mereka itu”.
Masih banyak pemikir yang antifamiliarisme pendidikan. Mereka itu antara lain dari sekolah Frankfurt, yaitu Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, Herbert Marcuse; dari psikiatri, seperti R. Laing, D. Cooper, dan psikolog G. Mendel. Mendel bahkan menganggap keluarga sebagai halangan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang sehat. Mendel juga melihat adanya kecenderungan egoisme dari faktor-faktor genetik yang ada dalam diri manusia yang terwariskan lewat keluarga yang cenderung menjadi penghalang proses pendidikan bagi setiap subyek yang belajar (educandi).
- Familiarnisme
Familiarisme dalam pendidikan dipelopori oleh Aristoteles (384-322), murid Plato. Ia berpendapat bahwa keluarga (oikos) adalah inti pokok fondasi masyarakat (polis) yang menentukan hidup atau matinya suatu masyarakat. Dalam kaitannya dengan pendidikan, perkembangan masyarakat banyak tergantung pada proses pendidikan yang terjadi di dalam keluarga atau pendidikan dalam keluarga sangat menentukan perkembangan masyarakat. Masyarakat tidak akan langgeng tanpa adanya keluarga. Sebaliknya, keluarga tidak dapat tumbuh tanpa dukungan dari masyarakat. Jadi, pemikiran Plato yang menghapuskan peran keluarga dalam pendidikan dan melimpahkannya kepada negara tidaklah tepat. Aristoteles juga menentang pemikiran Plato yang menentukan tujuan pendidikan membentuk warga negara yang baik melalui proses pendidikan massal, yaitu sentralisasi negara. Hal itu dapat mematikan otonomi pribadi.
Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah membentuk warga negara yang otonom, yang dengan kehendak bebasnya mampu memilih para pemimpin yang akan mengatur kehidupan masyarakat. Pandangan Aristoteles tentang pendidikan lebih bersifat demokratis daripada statalis (terpusat pada kuasa negara). Hal ini juga lebih sesuai dengan pandangan modern, bahwa otonomi dalam mengambil putusan hidup menjadi tolok ukur keberhasilan suatu pendidikan; dan juga sesuai dengan dimensi etis yang menekankan kebebasan dan tanggung jawab dalam proses pendidikan. Aristoteles juga berpendapat bahwa pendidikan merupakan sebuah proses dinamis pembentukan diri terus-menerus (ongoing formation) untuk menjadi sosok pribadi yang berkualitas, utamanya secara moral. Aristoteles telah membuka jalan pedagogis dalam membentuk tiap pribadi menjadi orang atau warga negara yang baik, dan memberi peluang bagi mereka yang tidak baik tetap dapat hidup berdampingan secara damai dalam kerangka demokratis.
Garis pemikiran familiarisme ini makin terlealisasi secara konkret secara politis pada zaman Romawi Kuno, ketika model pendidikan pater familias menjadi fondasi kokoh bagi berlangsungnya tata kehidupan masyarakat Roma. Dalam sistem pater familias, keluarga memiliki kedudukan sentral dalam pendidikan anak. Seorang ayah memegang kuasa tertinggi atas seluruh urusan rumah, anak, isteri, budak milik pribadi, bahkan atas hidup atau mati mereka. Proses pendidikan menekankan pada dimensi praktis-imitatif (peniruan), di mana anak dibiasakan melihat dan merasakan bagaimana sang ayah melaksanakan tugas-tugas publiknya. Tradisi politik dan sosial terkait erat dengan peranan orangtua dalam pendidikan kebidayaan anak-anaknya. Seorang ibu memiliki peran penting dalam pendidikan anak. Hingga usia tujuh tahun, tugas utama pendidikan dipercayakan pada ibu. Sikap dasar pendidikan pada masa Romawi adalah “rasa hormat tertinggi seharusnya diberikan terhadap anak-anak” (Ungkapan Giovenale: maxima debetur puero reverentia).
Thomas Aquinas (1224-1274), juga menekankan bahwa kehadiran keluarga bukanlah sekedar untuk melanggengkan spesies umat manusia (nutitio), melainkan juga bertanggung jawab atas pendidikan anak (geniti education). Menurut Aquinas, pendidikan terutama diarahkan pada penyempurnaan akal budi manusia melalui pengajaran (ratio perfectior ad instruendum) yang memuncak pada pendidikan bagi jiwa (instructione quantum ad animam).
Pendapat Thomas Aquinas kemudian dikembangkan oleh Jan Amos Komensky (1529-1670) pada masa Humanisme Renaisans. Komensky menambahkan pemahaman baru tentang pentingnya pendidikan diri terus-menerus mulai sejak kecil, yang secara natural merupakan tanggung jawab orangtua. Ia mengatakan: “Tak seorang pun dapat percaya bahwa dia dapat menjadi manusia, jika tidak bertindak seperti manusia, yaitu dididik sesuai dengan nilai-nilai yang membuatnya menjadi manusia”. Mengingat tidak banyak orangtua yang mampu dan memiliki cukup waktu untuk mendidik anak, Komensky mengusulkan agar didirikan banyak sekolah bagi kaum muda di setiap kampung, setiap desa, dan setiap tempat di mana anak-anak muda dapat menimba ilmu. Menurut konteks historisnya, gagasan Komensky itu bersifat sangat revolusioner dan profetis (kenabian, bersifat meramal).
Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1827), juga menentang antifamiliarisme pendidikan dari J. J. Rousseau. Pestalozzi seorang praktisi pendidikan, sedangkan Rousseau adalah seorang idealis dalam pendidikan. Pestalozzi benar-benar seorang pendidik. Ia mendidik anak-anak yang terpinggirkan, yang jauh dari perhatian masyarakat. Rousseau dengan Emile-nya yang bersifat fiksi, tidak berpijak pada kenyataan; bahkan Rousseau tidak mendidik anak-anaknya sendiri, melainkan menitipkannya di panti asuhan. Pemikiran Rousseau tentang pendidikan bersifat imajinatif-ideal, kenyataannya ia sendiri gagal dalam mendidik anak-anaknya.
Masih banyak pemikir yang menekankan peran keluarga dalam pendidikan anak. Mereka itu antara lain Froebel dengan taman kanak-kanaknya, Hegel dengan transformasi cinta dalam keluarga yang diobyektivikasi lewat anak-anaknya, dan Macchiavelli yang menganalisis bahwa perbedaan kualitas tiap keluarga tidak hanya berasal dari pewarisan keturunan darah, melainkan juga melalui perbedaan cara-cara mendidik anak dalam tiap keluarga.
Persaingan antara dua aliran besar tersebut masih berlanjut hingga saat ini, termasuk dalam praksis pendidikan di Indonesia. Di Indonesia peran keluarga dalam pendidikan tidak mendapatkan posisi yang sepantasnya, baik karena kesalahan orangtua senndiri maupun karena desakan dari pihak luar (dominasi negara, sekolah). Praksis pendidikan di Indonesia masih menjadi perebutan antara individualisme, statalisme, familiarisme, dan antifamiliarisme. Pilihan yang dapat ditawarkan adalah personalisme dari Mounier, yang memposisikan anak (person) sebagai penentu dirinya sendiri.
3 Tanggung jawab orangtua
Tidak dapat dielakkan lagi bahwa pendidikan anak menjadi tanggung jawab orangtua. Hal itu lebih nyata dalam kehidupan orang-orang primitif, sebelum adanya ilmu pendidikan dan munculnya sekolah-sekolah. Pendidikan telah ada bersama dengan adanya manusia itu sendiri. Dalam kehidupan masyarakat yang masih sederhana, pendidikan anak cukup dilaksanakan di dalam keluarga dalam tanggung jawab orangtua, karena tuntutan kebutuhan hidupnya masih sederhana. Makin maju masyarakat, dengan makin berkembangnya ilmu dan teknologi, tuntutan kebutuhan hidup makin kompleks sehingga memerlukan pendidikan yang kompleks juga, dengan berbagai spesialisasinya. Dengan demikian orangtua atau keluarga tidak mungkin lagi memenuhi tuntutan perkebangan zamannya, sehingga perlu dibantu oleh pihak lain, dalam hal ini sekolah sebagai fungsi dari masyarakat dan negara.
Ketika orangtua mendaftarkan anaknya ke suatu sekolah, saat itulah orangtua tersebut memberikan mandat kepada sekolah untuk turut mendidik anaknya. Ketika pihak sekolah memutuskan untuk menerima anak yang bersangkutan sebagai siswa, pada saat itulah sekolah menyatakan kesediaan menerima mandat dari orangtua untuk mendidik anak tersebut. Saat itulah terjadinya kontrak sosial atau kontral moral antara orangtua dan sekolah.
Lewat kontrak tersebut tidak dengan sendirinya orangtua melepaskan tanggung jawab mendidik anaknya sama sekali, dan sekolah tidak sepenuhnya mengambil-alih tanggung jawab orangtua. Kontrak itu sesungguhnya hanya dapat dimaknai bahwa orangtua menyerahkan sebagian dari tanggung jawabnya kepada sekolah dan sekolah berposisi sebagai pembantu orangtua dalam melaksanakan pendidikan (lebih tepatnya pengajaran). Dalam hal ini yang dituntut adalah kerjasama yang harmonis antara orangtua dan sekolah.
Bagaimanapun, perkembangan selanjutnya menjadi berbeda. Orangtua makin sibuk dengan urusan mencari nafkah, sehingga tidak cukup waktu untuk mendidik anaknya. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara keluarga miskin dan yang kaya. Jadi, kemiskinan bukanlah satu-satunya alasan menipisnya rasa tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya. Yang miskin menjadi sibuk untuk mencukupi kebutuhan ekonominya, yang kaya sibuk dengan urusan meningkatkan kekayaannya. Yang miskin tidak dapat melaksanakan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anaknya justru karena kemiskinannya, yang biasanya terkait dengan kebodohan atau ketidaktahuannya sebab kurang berpendidikan. Yang kaya tidak melaksanakan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anaknya karena terlalu sibuk, tidak sempat untuk bertemu secara pedagogis dengan anaknya. Rumah tidak menjadi tempat yang tenang untuk pendidikan anak-anak. Orangtua tidak mau direpotkan dengan pendidikan anaknya. Akibatnya, tanggung jawab pendidikan dipindahkan ‘sepenuhnya’ pada sekolah, orangtua cukup dengan membayar saja, seraya ‘memesan’ kepada sekolah agar anaknya dijadikan orang yang diinginkan. Di satu sisi, sekolah diberi tanggung jawab mendidik secara penuh, di pihak lain sekolah hanya difungsikan sebagai ‘bengkel’ atau ‘tukang jahit’ yang menerima pesanan.
Ketika semua tanggung jawab pendidikan telah dialihkan dari orangtua kepada sekolah, prinsip-prinsip dari filsafat pendidikan telah tidak terpenuhi, dan pendidikan anak menjadi terlantar. Hal itu akan diperparah bila tidak ada kerjasama yang harmonis antara orangtua/keluarga dan sekolah. Tugas dan tanggung jawab keluarga atau orangtua sebagai pendidik pertama dan utama telah banyak ditinggalkan.
- Pendidikan karakter
Sebagaimana diketahui, Kurikulum 2013 menekankan pada pendidikan karakter, walaupun baru sebatas rencana bahkan cenderung menjadi pernyataan saja karena belum diprogramkan secara nyata, dan dinyatakan pelaksanaannya diintegrasikan (dititipkan) ke dalam semua matapelajaran, artinya harus dilakukan oleh semua guru, tanpa spesifikasi. Hal itu tidak ada salahnya dan didukung oleh teori tentang pengembangan kurikulum dan juga alasan-alasan praktis bahwa kurikulum yang ada telah terlalu banyak muatan (overloaded). Masalahnya adalah, apakah hal itu sudah tepat sebagai satu-satunya cara yang harus ditempuh, perlu dilakukan analisis lebih mendalam.
Sebagai instrumen untuk membedah program pendidikan karakter baiklah kalau dipahami tentang hakikat manusia. Mengapa hakikat menusia? Karena pendidikan karakter adalah masalah manusia, aktivitas manusia; yang dididik manusia (manusia muda yang belum dewasa), yang mendidik manusia (yang telah dewasa); suatu proses memanusiakan manusia (Drijarkara, 1961: 239-270). Pada dasarnya pendidikan karakter adalah pendidikan nilai (value education), berorientasi kepada nilai-nilai (values oriented), pendidikan moral atau pendidikan etika. Dalam kaitannya dengan karakter (moral, etika) manusia adalah insan yang bermoral, beretika, berkarakter. Yang bermoral hanyalah manusia, manusia yang tidak bermoral sama dengan binatang (kebo, kerbau), bahkan lebih rendah dari kerbau (Pakubuwono IV, Wulang Reh, Pupuh XI, pada 5). Dalam kaitannya dengan pendidikan, manusia adalah agen moral, penyalur moral.
Moral atau etika menjadi landasan terbentuknya karakter seseorang; kosakata karakter telah menggantikan kosakata pendidikan moral; karakter dapat dimaknai sebagai moralitas, yang terkait dengan nilai, pendidikan, atau etika. Pendidikan, termasuk pendidikan karakter, terlaksana dalam tiga upaya utama (Hassan, 2004: 52-54), yaitu pembiasaan, peneladanan, dan pengajaran (pemelajaran). Ketiga upaya itu menjadi fungsi dan peran pendidik, di sekolah menjadi fungsi dan peran guru; di rumah menjadi fungsi keluarga atau orangtua. Tugas utama guru di sekolah adalah mengajar. Pada hakikatnya, mengajar adalah tindakan moral yang mencerminkan karakter moral seorang guru dalam membangun situasi belajar yang baik di dalam kelas. Yang menjadikan pengajaran sebagai sebuah upaya moral adalah karena pengajaran merupakan tindakan manusia yang berhubungan dengan manusia lain. Dengan demikian, senantiasa muncul pertanyaan mengenai apa itu tidak memihak, adil, dan bajik. Setiap kali guru menyuruh siswa berbagi sesuatu dengan siswa lain, melerai perkelaian di antara anak-anak di halaman sekolah, menetapkan aturan siapa yang akan mendapat giliran pertama, kedua, ketiga, dan setewrusnya; atau membicarakan kesejahteraan seseorang siswa dengan guru lain, selalu ada pertimbangan moral. Tingkah laku guru, sepanjang waktu dan bagaimanapun caranya, adalah urusan moral. Hal itu saja sudah menjadikan pengajaran menjadi aktivitas yang sangat bermoral, dan moralitas guru mungkin sangat besar dampaknya terhadap moralitas siswa. Guru adalah teladan bagi siswa-siswanya, sedemikian rupa sehingga makna sifat-sifat bawaan yang khusus dan konkret seperti: kejujuran, bermain bersih, mempertimbangkan orang lain, toleransi, dan berbagi “dipilih” sebagaimana adanya dengan mengamati, meniru, dan membicarakan apa yang dilakukan guru di dalam kelas.
Dari paparan di depan dapat disimpulkan bahwa para guru dituntut untuk memberikan pendidikan karakter di sekolah, sebagaimana keluarga atau oaangtua di rumah. Bagaimanapun, pendidikan karakter di sekolah-sekolah baru dicanangkan, belum benar-benar menjadi program. Lembaga-lembaga pendidikan guru (LPTK, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) belum mempersiapkan calon-calon guru secara sengaja dan sistematis untuk menjadi guru pendidikan moral dan karakter. Para guru di sekolah dibiarkan mencari cara dan jalan serta materi sendiri untuk memberikan pendidikan moral dan karakter kepada para siswanya. Diperlukan standar-standar pendidikan guru yang terkait dengan pengembangan moral, etika, dan karakter. Dengan standar-standar tersebut para guru dan calon guru akan dapat mmengembangkan keterampilan dan tindakan untuk memberi teladan karakteristik dan perilaku yang dapat diharapkan dapat dikembangkan oleh siswa-siswa mereka. Untuk menelusuri keefektifan upaya-upaya tersebut perlu dilakukan riset.
Praktik etis sebagai imperatif profesi. Para guru memiliki banyak kewajiban moral pada siswa, sebagaimana keluarga atau orangtua pada anak-anak mereka. Semua yang bekerja menginginkan bayaran, tetapi guru tidak bekerja sekedar memperoleh bayaran. Mereka lebih merasakan kepuasan dengan apa yang telah mereka lakukan. Mereka khawatir jangan-jangan telah bertindak tidak adil terhadap seseorang (termasuk siswa), tidak melayani mereka dengan baik. Guru senantiasa khawatir, para siswa keliru menangkap pesan-pesan yang disampaikan. Guru selalu merefleksi tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang telah dicapai hari ini. Guru bukan manusia super, tetapi juga harus memastikan keputusan-keputusan yang diambilnya sudah sesuai.
Agen moral adalah kondisi ganda yang melingkupi guru sebagai sosok bermoral yang melakukan tindakan profesional etis sekaligus sebagai pendidik moral yang mengajarkan kepada siswa kebajikan dan rasa inti yang sama yang diperjuangkannya untuk ditegakkan dalam praktik. Hubungan antara kedua aspek agensi moral tersebut sangat jelas karena guru mempraktikkannya melalui sikap dan tindakan serta ucapan yang dapat diteladani dengan harapan dapat ditanamkan dalam diri siswa mereka. Inilah karakteristik agensi moral (sebagai sosok bermoral) yang memungkinkan guru menciptakan suasana etis di kelas sehingga meneladankan kelakuan bajik dan mengembangkan lingkungan yang kondusif bagi tujuan-tujuan pendidikan moral karakteristik yang kedua (sebagai pendidik moral).
Tidak semua yang dilakukan guru niscaya memiliki signifikansi moral, tetapi apa pun tindakan yang diambil seorang guru dapat memiliki arti moral. Kebajikan dan asas inti tercermin ketika seorang guru melatih kepedulian dengan cara memilih dan memamerkan karya siswa, membagi waktu, perhatian, hak istimewa, dan tugas-tugas dengan adil kepada para siswa, mengatur kelompok-kelompok kerja kecil untuk memastikan keadilan bagi semua, menegakkan aturan kelas dan sekolah dengan konsekuen, atau ketika guru menggunakan kecermatan dan kearifan dalam memilih sumber daya kurikulum yang sensitif atau menilai prestasi siswa dengan jujur, adil, dan murah hati. Pengetahuan etika juga dapat diungkapkan melalui nada suara seorang guru, bahasa yang santun, rasa hormat, dan kehangatan yang dipergunakannya, perbedaan antara sarkasme dan humor, enggan memalukan atau merendahkan siswa di depan siswa lainnya, serta mengakui bahwa gosip negatif di ruang staf perihal siswa dan keluarganya bukanlah kelakuan profesional. Pengetahuan etika juga tercermin ketika dengan sadar guru mengingatkan, menasehati, mengoreksi, dan mengajar siswa mengenai cara berperilaku yang memengaruhi orang lain. Upaya guru untuk membangun suasana beradab dan penuh kepedulian di dalam kelas bukan hanya menggambarkan strategi organisasional bagi terciptanya komunikasi para siswa yang efeisien, tetapi juga mmenggambarkan sensitivitas agensi moral dan tujuan moral.
Pendidikan karakter merupakan salah satu dari varian pendidikan moral, yang sedang dikembangkan. Pendidikan karakter merupakan penanaman secara sengaja dan metodis, kebajikan-kebajikan moral melalui berbagai ragam pelajaran dan latihan terencana melibatkan inisiatif seluruh kelas. Pendidikan karakter sepenuhnya bergantung pada peran guru sebagai agen dan teladan moral.
Dari paparan di atas dapatlah diringkaskan bahwa agensi moral merupakan hasil dari peran dan tanggung jawab profesi guru. Agensi moral diungkapkan dan dinyatakan dalam praktik sehari-hari guru yang memberikan teladan, mengatur diri sendiri, mengajarkan, menghubungkan, menasehati, dan melibatkan. Agensi moral merupakan penyuluhan tentang kebajikan serta asas-asas moral dan etika yang terjalin melalui kerumitan-kerumitan kehidupan di ruang kelas dan sekolah.
Setelah mendalami tentang hakikat manusia sebagai agen moral, perlu didalami pula tentang pendidikan karakter itu sendiri. Sebelum melangkah lebih jauh, baiklah dikutip tentang definisi karakter moral, sebagai berikut.
Karakter moral adalah pola perilaku yang konsisten dan mengungkapkan karakteristik-karakteristik yang berorientasi pengembangan diri dan pengaturan emosi dalam menyiapkan diri untuk memikul tanggung jawab sosial dan moral bagi orang lain. Karakter moral berdasarkan kepedulian terhadap orang lain yang terwujud melalui cara-cara penyelesaian masalah yang menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Terakhir, karakter moral memudahkan pengembangan orang lain untuk berupaya sendiri mencapai tingkat moralitas dan pencapaian yang lebih tinggi.
(Schwartz, 2005: 127, dalam Nucci & Narvaez, 2014: 857).
Doni Koesoema (Kompas, Senin, 19 Juli 2010, halaman 7, kolom 4-7) menyebut tiga fokus pendidikan karakter, yaitu: (1) pengajaran (teaching values) yang bersifatintelektual, (2) klarifikasi nilai (value clarification), yang terkait dengan perilaku, dan (3) penumbuhan moral (character development, moral development), yang memotivasi dari dalam. Telah menjadi kesepakatan umum bahwa segala sesuatu dalam pendidikan karakter berhubungan dengan pengembangan moral dalam proses pembentukan karakter; bahwa pendidikan karakter di sekolah-sekolah membutuhkan pendekatan sengaja dan sistematik. Pendidikan karakter berupaya mengubah identitas dan konsepsi seseorang tentang siapa diri mereka. Identitas seseorang terbentuk melalui keluarga, teman-teman terdekat, teman kerja, pengalaman hidup (termasuk pendidikan), makin bertambahnya pemahaman penguasaan diri (self-authorship), dan tannggung jawab moral kepada masyarakat. Maka pengertian karakter diperluas untuk mencakupi segala sesuatu yang harus dilakukan menyangkut pembangunan moral seseorang.
Masyarakat telah menyepakati tentang asas-asas umum dalam profesi pembelajaran, yaitu: kejujuran, ketidakberpihakan, melindungi yang lemah, menghormati semua orang, keberanian, simpati sebagai teladan, keadilan, kepedulian, integritas, kesabaran, keteguhan, tanggung jawab, tidak jahat, dan kebermanfaatan. Kedudukan guru sebagai agens moral merupakan keadaan tak terelakkan yang terungkap setiap kali guru, sebagai sosok bermoral, membawa diri di sekolah dengan jujur, rasa tidak memihak, berintegritas, simpatik, sabar, hormat, tanpa prasangka, penuh perhatian, berdedikasi, dan kebajikan-kebajikan inti lainnya. Kedudukan guru sebagai agen moral juga terlihat ketika guru, sebagai pendidik moral, mengimbau siswa agar menjunjung tinggi kebijakan-kebijakan serupa dan agar para siswa menunjukkan perilaku yang menghormati kebajikan-kebajikan tersebut. Guru dapat mencerminkan konsep ganda agensi moral secara formal dan informal, secara sadar dan sengaja atau tidak, serta sering-sering dilakukan atau jarang-jarang.
Pendidikan karakter dapat dilaksanakan melalui beberapa pendekatan. Dapatlah dikelompokkan adanya tiga pendekatan pendidikan karakter, yaitu: pendidikan karakter sebagai fungsi guru, keluarga atau orangtua agen moral, kepedulian sebagai pendidikan moral, dan pendidikan karakter ideologis-politis. Berikut ini paparan ringkasnya.
Pertama, pendidikan karakter sebagai fungsi guru agen moral, adalah pendidikan karakter sebagai metode pengajaran kebajikan dan asas-asas perilaku bermoral yang telah diformalkan dan langsung, telah mendapat dukungan sekaligus kecaman. Bagi banyak pihak, pendidikan karakter adalah kepanjangan alami tingkah laku guru/orangtua, sebagai agen moral, sebagai bagian dari fungsi peran mereka yang tidak terelakkan, membantu anak-anak bergaul menjadi individu-individu berintegritas moral yang mampu hidup di masyarakat tempat asas-asas seperti: kejujuran, ketidakberpihakan, kebaikan hati, rasa hormat, toleransi, integritas, dan tanggung jawab dijunjung tinggi secara luas dan dicerminkan melalui norma-norma sosial dan fondasi hukum masyarakat tersebut. Dalam hal ini, guru memandangnya sebagai satu aspek yang sangat signifikan dalam tanggung jawab profesinya. Para guru tidak meragukan arti penting menguatkan nilai-nilai moral yang baik, yang mengalahkan perbedaan sosial normatif atau perbedaan budaya di antara kita dan sebaliknya, memupuk rasa positif kemanusiaan kolektif kita. Dalam hal ini tidak berlaku lagi netralitas nilai, masa netralitas nilai sudah berlalu. Bagaimanapun, guru-guru mungkin memiliki interpretasi yang berbeda mengenai apa arti pendidikan karakter sebagai sebuah pendekatan pedagogis.
Kedua, kepedulian sebagai pendidikan moral atau pendekatan kontekstual. Kendati mendukung hakikat teori pendidikan karakter, sebagian pihak, dengan penuh pertimbangan, menyangsikan metode-metode pendidikan karakter jika dijadikan sebagai sebuah program formal. Ada yang menyanggah bahwa suasana moral yang benar-benar dirasakan siswa di sekolah (perilaku guru, integritas kode sekolah, kualitas hubungan teman sebaya yang terbentuk) lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan karakter daripada program akademik. Beberapa orang pengkritik fokus pada aspek-aspek program-program tersebut yang menekankan ganjaran ekstrinsik untuk perilaku yang baik, latihan berulang, dan tidak perlu berpikir sama sekali atau menerima begitu saja ajaran-ajaran moral atau penggunaannya yang dianggap hanya sebagai strategi cari perhatian dan dibuat-buat untuk menanamkan kebajikan. Mereka berpendapat unsur-unsur tersebut tidak dapat dibenarkan, baik dalam arti moral maupun dalam arti pedagogis. Namun di antara para pengkritik itu, tidak membantah tentang pentingnya nilai-nilai moral yang baik; mereka menyebut diri sebagai kritikus simpatik. Para pengkritik yang tajam pun masih ada yang mengakui maksud-maksud baik para pendukung pendidikan karakter. Ada pengkritik yang menyebut diri sebagai “komunitas peduli”, yang juga memiliki dukungan nonrelativis pendidik-pendidik karakter untuk nilai-nilai moral, tetapi berpendapat bahwa seharusnya nilai-nilai moral tersebut dipelajari dengan pengertian yang lebih berbeda dan dipermasalahkan di dalam ruang kelas dengan cara-cara yang mengakui adanya konteks yang berbeda-beda dan sering berbenturan serta kontroversi. Walaupun lebih mengkontekstualkan nilai-nilai moral, mereka masih mengutamakan hubungan saling mendukung, saling hormat, dan interaksi tanpa berprasangka serta inklusif, sikap terbuka, saling menerima dengan pendukung pendidikan karakter. Seperti pada pendidikan karakter, prioritasnya tertuju pada menguatkan nilai-nilai positif secara moral yang memungkinkan simpati dan rasa tanggung jawab berkembang dengan baik di dalam kelas dan di sekolah berbasis komunitas, dan peran guru sebagai agen moral menjadi yang utama; politisasi tidak perlu diutamakan, tidak perlu terjadi, walaupun memungkinkan terjadinya.
Ada pengkritik lain, yang sama sekali tidak bersimpati dan menghujat pendidikan karakter sebagai upaya “sayap kanan” (aliran agama) untuk mengindoktrinasi anak-anak. Sering kali, tetapi tidak selalu, pengkritik tersebut menulis dari perspektif ideologis “kiri” (aliran ateis) yang lebih radikal. Pengritik ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok pendekatan ketiga.
Para penganut pendekatan pendidikan karakter dapat menyetujui sebagian dari kritik terhadap metode pengajarannya, tetapi melihat tuduhan bahwa pendidikan karakter sebagai indoktrinasi politis adalah berlebihan dan patut dipertanyakan. Tentu saja, para pendidik karakter dapat memolitisasikan ruang kelas sekolah negeri sebagaimana guru-guru lain pun dapat melakukannya; dan jika peneladanan dan pengajaran kebajikan justru menjadi khotbah sepihak mengenai keyakinan dan kepentingan politis, budaya, atau agama; dengan demikian fungsi guru sebagai agensi moral telah dilanggar dan berubah menjadi aktivis ideologis, karenanya tidak masuk dalam definisi pendidikan karakter. Pendidikan karakter didefinisikan sebagai semacam pendidikan moral yang tidak terpisahkan dari peran guru sebagai agen, contoh, teladan, dan pendidik moral; respek pada nilai-nilai moral yang baik, yang telah mendapat dukungan luas dari populasi arus utama dan menjadi asas-asas bagi norma dan hukum di masyarakat sipil.
Ketiga, pendekatan keadilan sosial/orientasi-orientasi demokratis kritis atau pendekatan ideologi-politis. Pendekatan ini mengubah peran profesional guru dari agen moral menjadi aktivis sosial atau aktivis ideologis-politis. Orientasi mereka bukan untuk membangun dedikasi kepada kebajikan inti dan asas-asas moral, melainkan untuk melibatkan siswa dalam pengkajian kritis asas-asas tersebut dan yang lebih penting pengkajian kritis struktur otoritas, sistem, norma, dan praktik masyarakat. Para pengkritik pendekatan ini menegaskan bahwa pendekatan tersebut telah “gagal sebagai sebuah upaya etika”, karena kemampuannya untuk memupuk relativisme moral, dogmatisme, dan partisanship di ruang kelas. Fokusnya tertuju kepada ideologi dan doktrin sebagai ganti dari tanggung jawab personal dan kesesuaian praktik dengan standar moral.
Dengan secara ideologis mencerminkan pandangan kiri politis, pendekatan umum ini berorientasi kepada isu-isu pemerataan dan keadilan sosial, teori kritis, pedagogi antidiskriminasi, perspektif liberasionis, pendidikan antirasis dan multikultural, serta pendidikan demokratis kritis. Pendekatan ini berakar pada wilayah politis teori sosialis Marxis dan teori sosialis yang lebih umum serta mencerminkan penekanan utamanya pada ketidakadilan masyarakat dan ketidakadilan materi.
Fungsi guru sebagai agen moral telah digantikan dengan cita-cita ideal yang dapat menjadi ideologis atau doktriner dan mungkin akan menjauhkan guru dari kewajiban-kewajiban edukasionalnya dan menyebabkan guru memperlakukan siswa sebagai cara mencapai tujuan, entah tujuan itu politis, sosial, atau apa pun (tujuan menghalalkan segala cara). Guru yang percaya bahwa etika profesinya lebih berhubungan dengan bagaimana caranya memenuhi agenda politik yang lebih luas sebagai Rekonstrusionis Sosial sebagai pengganti memantau praktik dan kewajiban sehari-hari kepada siswanya sendiri, akan membahayakan keagenan moralnya.
Dari pembicaraan tentang pendekatan pendidikan karakter di atas dapat diringkaskan bahwa dalam kaitannya dengan kebajikan dan asas-asas moral dapat dikalsifikasi tiga pandangan, yaitu: (1) kelompok pertama (pendekatan karakter) memandang kebajikan dan asas-asas moral sebagai suatu yang poisitif, mereka menentang relativitas moral dan mengajarkannya sebagai pedoman tingkah laku; (2) kelompok kedua, yang tidak begitu saja menerima kebajikan dan asas-asas moral sebagai pedoman tingkah laku melainkan ingin menerapkannya secara kontekstual dengan mengajukan berbagai kritik yang terkait dengan metode penerapannya dan keefektifan nilai-nilai moral itu sendiri; (3) kelompok ketiga, berpandangan menentang nilai-nilai moral dan menggantikannya dengan ideologi politik yang dijiwai oleh ajaran Marxisme materialistis. Menurut pandangan kelompok pertama dan kedua, peran dan fungsi guru sebagai agen moral masih berjalan, sedang dalam pandangan kelompok ketiga, peran dan fungsi guru sebagai agen moral telah digantikan dengan aktivis ideologi-politik, dan karenanya tidak masuk dalam definisi pendidikan karakter.
Kesimpulannya, keagenan moral mungkin saja dipahami secara umum dalam hubungannya dengan bukan hanya apa yang guru-guru ajarkan kepada siswa dengan sarana kurikulum langsung tetapi juga secara lebih signifikan apa yang dilakukan guru sendiri sebagai ahli profesi etika di dalam kelas serta kebajikan-kebajikan dan asas-asas moral yang mereka cerminkan sehingga mereka teladankan bagi siswa sehari-hari. Tempat yang disebut sekolah itu sebuah lingkungan interaksi moral dan kadang-kadang perjuangan moral. Kemampuan anak-anak untuk mengembangkan sensitivitas moral dan keterampilan-keterampilan penalaran etika sangat tergantung pada bagaimana orang-orang dewasa di sekitar mereka meneladankan perilaku etika dan penalaran etika. Pada dasarnya, kelakuan guru, sepanjang waktu dan dengan cara apa pun, merupakan persoalan moral. Sementara penekanan tertuju kepada kelakuan guru, bukan pertumbuhan moral para siswa, inti yang ditekankan ialah bahwa guru bertanggung jawab, secara perseorangan dan secara kolektif, atas keputusan-keputusan yang diambil di dalam ruang kelas, motivasi-motivasi yang menggerakkannya, tindakan-tindakan yang diambil, serta kata-kata yang diucapkan, tanpa melihat apakah efek langsungnya terhadap siswa dapat atau tidak dapat dibuktikan secara empiris. Sebagai persoalan profesionalisme, ukuran pengajaran etika terletak pada maksud guru, juga pengaruh guru tersebut. Kesadaran guru akan maksud-maksud tersebut serta perhatian deliberatifnya kepada hal-hal kecil dalam praktik keseharian yang disaring lewat kacamata kebajikan-kebajikan dan asas-asas moral, adalah bukti pengetahuan etika yang mereka miliki. Pada akhirnya, pengetahuan etika inilah yang menjadi karakteristik penentu profesionalisme dalam nengajar.
- Simpulan
Dalam kaitannya dengan peran keluarga atau orangtua dalam pendidikan, khusunya pendidikan karakter dan implementasinya pada masa pandemik Covid-19 dan new normal, kata-kata “guru di sekolah” dapat digantikan dengan “keluarga atau orangtua di rumah” karena pada hakikatnya fungsi guru adalah sebagai perpanjangan tangan keluarga atau orangtua. Dalam pendidikan, guru adalah pemegang mandat keluarga atau orangtua, pelaksana tugas keluarga atau orangtua.
Menyimak paparan di atas dapat disimpulkan adanya tiga pendekatan dalam pendidikan karakter, yaitu: (1) pendekatan karakter, memandang kebajikan dan asas-asas moral sebagai suatu yang poisitif, mereka menentang relativitas moral dan mengajarkannya sebagai pedoman tingkah laku; (2) pendekatan yang tidak begitu saja menerima kebajikan dan asas-asas moral sebagai pedoman tingkah laku melainkan ingin menerapkannya secara kontekstual dengan mengajukan berbagai kritik yang terkait dengan metode penerapannya dan keefektifan nilai-nilai moral itu sendiri; dan (3) pendekatan yang menentang nilai-nilai moral dan menggantikannya dengan ideologi politik, demi kepentingan kelompok atau golongan. Yang akan mengimplementasikan pendekatan tersebut adalah guru, pendidik, keluarga atau orangtua. Dalam kaitannya dengan implementasi pendidikan karakter, guru, pendidik, keluarga atau orangtua berperan sebagai agen moral.
Untuk pendekatan pertama dan kedua, peran dan fungsi guru, pendidik, keluarga atau orangtua sebagai agen moral masih berjalan, sedang dalam pendekatan ketiga, peran dan fungsi guru, pendidik, keluarga atau orantua sebagai agen moral telah digantikan dengan aktivis ideologi-politik, dan karenanya tidak masuk dalam definisi pendidikan karakter. Telah dipaparkan juga tiga metode/upaya utama dalam menginternalisasikan nilai-nilai, termasuk moral, yaitu pembiasaan, pemelajaran, dan peneladanan. Ditemukan tiga fokus pendidikan karakter, yaitu: (1) pengajaran (teaching values) yang bersifatintelektual, (2) klarifikasi nilai (value clarification), yang terkait dengan perilaku, dan (3) penumbuhan moral (character development, moral development), yang memotivasi dari dalam.
Berdasar pada simpulan tersebut dapat diungkapkan bagaimana keluaarga atau orangtua mengimplementasikan pendidikan karakter dalam masa wabah Covid-19 atau pada masa new normal, yaitu: (1) berperan sebagai keluarga atau orangtua agen moral; (2) menggunakan pendekatan pandangan positif terhadap moral dan/atau bersifat kritis, tetapi seharusnya menghindari pendekatan ideologis-politis; (3) fokus pada pemelajaran dan klarifikasi serta pengembangan moral/karakter; (4) mengupayakan melalui pembiasaan, peneladanan, dan pemelejaran; dan (5) mengajak anak-anak belajar dari situasi dan kondisi serta kehidupan masa new normal. Kita dapat banyak belajar dan mengajarkan nilai-nilai pembentuk karakter dari masa pandemi Covid-19 dan new normal, seperti makin menguat dan meningkatnya: ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, rasa kemanusiaan, jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan, saling hormat dan peduli terhadap nasib dan penderitaan sesama. Dalam hal ini keluaarga atau orangtua sebagai agen moral perlu memotivasi seraya meneladani penguatan nilai-nilai solidaritas, kejujuran, kepedulian, dan pengorbanan. Melalui live in keluarga atau orangtua telah melaksanakan pendidikan karakter bagi anak-anak mereka; jadi keluarga atau orangtua berperan penting dalam pendidikan, khususnya pendidikan moral, etika, atau karakter. Pandemi Covid-19 dan new normal telah memposisikan kembali keluarga atau orangtua pada pendidik pertama dan utama atau sebagai keluarga atau orangtua sejati, yang selama ini telah banyak ditingalkan.
Dafatar Pustaka
Basis. 2006. Siapa Peduli Filsafat Pendidikan. No.07-08 Tahun Ke-55, Juli-Agustus 2006.
Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Drijarkara. 1960. ”Mencari Kepribadian Nasional”. Kumpulan Karangan alm. Prof. Dr. Drijarkara S.J. yang pernah dimuat dalam Majalah Basis. Yogyakarta: Kanisius.
_______________. 1961. Kumpulan Karangan dari Majalah Basis. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit BASIS.
_______________. 1980. Drijarkara tentang Manusia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Finger, Mathians & Asun, Jose Manuel. 2004. Quo Vadis Pendidikan Orang Dewasa. Yogyakarta: Pustaka Kendi.
Hassan, Fuad. 2004. ”Pendidikan adalah Pembudayaan”. Dalam Widiastono. Pendidikan Manusia di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Halaman: 52-66.
Koesoemo, A. Doni. 2006. “Pendidikan Anak: Bukan Mesin Reproduksi Kultur Sosial”. Majalah Basis. No. 07-08, Tahun Ke-55, Juli – Agustus 2006. Halaman 62-68.
Kompas, Senin, 19 Juli 2010, halaman 7, kolom 4-7
Lickona, Thomas. 2013. Mendidik untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah Dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Bertanggung Jawab. Jakarta: Bumi Aksara.
Nucci, Larry P. & Narvaez, Darcia. 2014. Handbook Pendidikan Moral dan Karakter. Bandung: Nuasa Media. Halaman 805-890.
Pakubuwono IV. 1977. Serat Wulang Reh. Sala: Toko Buku Indah Jaya.
Sastrapratedja, M. 2004. ”Apa dan Siapakah Manusia?”. Dalam Widiastono, Tonny D. (Editor). 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Halaman 3-24.
Sindunata. 2006. ”Anak Hanyalah Beban”. Basis Nomor 02-04, Tahun Ke-55, Maret-April 2006. Halaman 3.
————— === ays === —————
[1] Sesunggunya istilah new normal kurang tepat atau salah kaprah (salah tetapi sudah umum), karena “normal” merupakan adjektiva, bukan nomina, nominanya adalah normalitas (normality), maka mestinya new normality atau new normal live atau “tatanan baru”.